Wednesday, June 28, 2017

Anak-Anak dan Grup WhatsApp

Anak perempuanku, sejak libur sekolah akhir tahun ajaran 2017 ini, menjadi semakin akrab dengan WhatsApp. Yang sebelumnya ia hanya chat sedikit-sedikit dengan papanya, kemudian menjadi sering karena ia ber-wapri ria dengan dua teman dekatnya.

Salah satu dari teman dekatnya pun membuat grup agar mereka dapat mengobrol bersama.

Awalnya berjalan lancar. Semua tampak menikmati chating mereka di dunia maya itu. Tentu saja.. Karena mereka libur dan tidak dapat saling bercerita di sekolah. Melalui WhatsApp mereka dapat tetap saling berkomunikasi.

Namun setelah jalan sekian waktu, masalah mulai muncul. Ada yang tidak serius menjawab, ada yang merasa tidak diharhai, salah paham, bercanda dianggap serius, dan sebagainya.

Dan malam ini, saya mengatakan padanya untuk keluar saja dari grup. Dan menyarankan pada temannya untuk tidak kembali membuat grup.

Chating di WhatsApp beda dengan bicara ber-tatap muka secara langsung. Di WhatsApp (dan piranti dunia maya lainnya), tidak akan terlihat ekspresi sebenarnya dari sang lawan bicara. Karena terkadang ada perbedaan antara kalimat yang ditulis dan perasaan atau ekspresi sebenarnya. Misalnya, sebuah kalimat dengan makna tersirat tertentu, ternyata bisa saja dimaksudkan hanya sebagai sebuah candaan. Namun karena tidak ada tatap muka, maka kalimat itu dianggap serius oleh orang lain dan kemudian membuatnya tersinggung. Ketidaktahuan ekspresi sebenarnya ini, rentan sekali menimbulkan salah paham.

Butuh kedewasaan dalam chating di dunia maya. Butuh kehati-hatian dalam memberikan kalimat respon. Dan anakku bersama teman-temannya, saat ini belum memiliki itu. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun masih bisa 'terpeleset' ketika berinteraksi dengan orang lain dalam dunia maya.

Untuk anakku dan teman-temannya, sepertinya akan lebih elok jika pada liburan ini, mereka juga libur dulu dari interaksi bersama. Sehingga kerinduan yang akan mengiringi saat tiba masuk sekolah kelak :)